PERJANJIAN PRANIKAH: SOLUSI BAGI WANITA

January 15, 2009 at 4:47 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar *)

 

Abstract:

Prenuptial agreement (Perjanjian pranikah) is social phenomenon that still uncommon among Indonesian society. However, polygamy practice that still controversial necessitates such an arrangement and prenuptial agreement can become basic to alleviate polygamy that not based on Islamic law. prenuptial agreement content not only cover polygamy, but also harta gono gini (joint marriage property) arrangement, even touched family life design that will practiced by spouse.

Keywords: prenuptial agreement, polygamy controversy.

 

A. PENDAHULUAN

Pernikahan atau perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat,1 interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga,2 yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

Namun fakta yang berkembang, harmonisasi keluarga terganggu oleh fenomena poligami. Walaupun secara normatif poligami diakui oleh hukum Islam, tetapi karena suatu hal, maka poligami ditentang banyak intelektual, lebih-lebih para penggerak wanita. Apalagi terdapat sinyalemen bahwa poligami yang dipraktikkan oleh banyak muslim telah mereduksi rasa penghargaan kepada wanita dan nilai-nilai keadilan.

Belakangan muncul wacana tentang perjanjian pranikah, yaitu suatu perjanjian yang diproyeksikan sebagai “senjata” bagi wanita untuk mencegah calon suami untuk berpoligami. Perjanjian pranikah yang selama ini berjalan, materinya masih pada harta gono gini (harta bersama sebelum menikah), atau manajemen harta percampuran setelah menikah akan dibagaimanakan, jika ternyata terjadi perceraian.

Contoh perjanjian pranikah tentang harta gono gini pernah dilakukan oleh Dessy Ratnasari, aktris top Indonesia, pada pernikahan pertamanya. Ironinya, ada pendapat yang mengatakan bahwa contoh perjanjian pranikah yang hanya untuk memisahkan harta suami-istri sehingga pihak yang mengusulkan, seperti Dessy Ratnasari sebagai orang yang pelit.3

Baca selengkapnya: 10-dahlan-albar-perjanjian-pra-nikah

PEMETAAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUATAN PUBLIC SPHERE

January 15, 2009 at 4:42 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , ,

 

Tyas Retno Wulan *)

 

Abstract:

Long history of woman movement in Indonesia showing what woman has given special nuance to democratization learning in Indonesia. Indonesian woman movement dynamic in last two year show that they courageous to express issues about their interest. However, in reality, still much homework to enhance woman access and control in decision making at public sphere that influencing individual life at family. We have to acknowledge that, woman movement still urban bias and only enjoyed by educated ones. Suburban or village woman that became largest part of Indonesian people not yet having access and control to became part of democratization process, so woman have room to own autonomy of herself on public sphere that impendent from other domination. At this point, empowerment and struggle to bring village woman software they can develop themselves, is an urgent agenda.

Keywords: woman movement, publicsphere, access and control, democratization.

 

A. PENDAHULUAN

Ramalan para futurolog bahwa abad ke-21 akan menjadi era kebangkitan bagi kaum perempuan tampaknya bukanlah omong kosong belaka. Milenium ketiga telah membuktikan ramalan tersebut, era yang menjadi saksi merebaknya pemimpin-pemimpin perempuan di seluruh penjuru bumi. Setidaknya, hal inilah yang diungkap Majalah Forbes (6/9/2004) melalui risetnya terhadap 100 perempuan terkuat dan berpengaruh di dunia (The World Most Powerful Women). Dalam riset tersebut, dari 100 perempuan terkuat dan berpengaruh di jagat ini, terdapat 12 perempuan dari kawasan Asia Pasifik yang berasal dari kalangan eksekutif dan politikus, serta empat di antaranya masuk dalam kategori sepuluh besar (Asia’s Power Women). Peringkat tersebut diraih selain karena popularitas, juga didasarkan pada titik kunci percaturan dunia, yakni menyoroti perang melawan terorisme dan sumbangannya terhadap perekonomian global.

Beberapa politikus perempuan berpengaruh ini antara lain Sonia Gandhi, pemimpin Partai Kongres India, berada di urutan ke-3; Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Republik Indonesia berada di urutan ke-8; dan Gloria Macapagal-Arroyo, mantan Presiden Filipina di urutan ke-9. Riset ini kian menguatkan betapa pandangan konservatif dan tradisional yang senantiasa menempatkan kaum perempuan sebagai orang kedua cenderung terus memudar. Perempuan tidak lagi dominan dalam memainkan peran domestiknya, berdandan, memasak, beranak (macak, masak, manak). Kaum perempuan tidak lagi tinggal diam meski menjadi seorang istri atau telah memiliki anak. Mereka tetap bisa meniti karier, bahkan memainkan peran penting di sektor publik (Cahyono, 2004).

Baca selengkapnya: 9-tyas-retno-wulan-pemetaan-gerakan-perempuan-di-indonesia

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MAJALAH WANITA

January 15, 2009 at 4:38 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , ,

Liliek Budiastuti Wiratmo dan Mochamad Gifari *)

 

Abstract:

The existence of women’s magazine expected as medium to give new spirit through article presentation that empower woman position on public domain. However, the reality is reversed. Those presentation and ideas contain tend to establish women’s magazine as lifestyle shaper and place woman as market for a variety of product.

Keywords: artificial beauty, consumptive, and active-creative.

 

A. PENDAHULUAN

Meningkatnya kesadaran manusia untuk memperoleh informasi mendorong berkembangnya industri media, baik media cetak maupun media penyiaran (elektronik). Media cetak berkembang lebih pesat yang menuju pada khalayak khusus. Saat ini dengan mudah kita menemukan media yang diperuntukkan bagi perempuan–remaja maupun wanita matang, baik berbentuk tabloid dengan harga yang relatif murah, maupun majalah dengan tampilan “lux” yang harganya tidak bisa dibilang murah. Kondisi ini tentu saja memberi indikasi besarnya relung pasar yang masih tersedia. Semakin banyak pula majalah dari “luar” yang diterbitkan dalam edisi Indonesia, seperti majalah “HerWorld”. Perkembangan ini tentu saja dikarenakan ibu rumah tangga memainkan peran yang vital dalam perubahan gaya hidup keluarga, demikian kata Andre Harjana.1 Dalam penelitiannya ia menemukan sajian favorit dalam tabloid wanita; (1) masak-memasak, (2) bonus makanan, (3) konsultasi kesehatan, (4) konsultasi psikologi, dan (5) konsultasi etiket. Temuan penelitiannya yang paling menarik, berkaitan dengan alasan responden menggunakan kosmetika, yaitu untuk meningkatkan rasa percaya diri dan demi penampilan sebagai wanita (bahwa wanita harus cantik). Namun, perlu dipertanyakan pendapat Andre Harjana yang mengatakan alasan tersebut didorong oleh “drive” atau “desakan hati” dari diri sendiri, bukan karena tekanan lingkungan. Oleh karena adanya keyakinan bahwa perempuan harus cantik, kalau tidak cantik tidak layak disebut sebagai wanita. Ditengarai hal ini lebih sebagai “want” bukan “need”.

 

Baca selengkapnya : 8-lilik-gifari-representasi-perempuan-dalam-majalah-wanita

PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA DI INDONESIA: ANALISIS ISI MEDIA MASSA TENTANG SOSOK PEREMPUAN DALAM PARADIGMA KRITIS

January 15, 2009 at 4:26 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , ,

 

Nurul Islam *)

 

Abstract:

Capitalistic ideology covered with economic logic modifies media as fascinating profit resource with industry setting, namely woman’s exploitation. This hegemony creating historical logic that reduced in to superstructure pattern of thought that have bias into social order. Individual collectivity in social life brings social responsibility value as conception that have to notice to preserve individual self image in social sphere. Inasmuch language—verbal and non-verbal—is a communication that has positive and negative bias to other individual. 

Keywords: communication, media, economy, and woman.

 

A. PENDAHULUAN

Setelah rezim Soeharto —yang dikenal dengan otoriternya bermodel kekuasaan yang represif— berakhir, maka media massa telah memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa ada pembredelan, pembatasan tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi vulgar di majalah oleh pihak pemerintah. Media massa relatif bebas dari kontrol kekuasaan pemerintah, tetapi dalam kenyataan yang sebenarnya tidak pernah bebas dari institusi yang memiliki budaya bisnis, dan industri-industri pemilik modal yang bekerja dengan imbalan profit kemudian tenggelam dalam tekanan pasar yang mendewakan rating. Itulah dunia media massa di Indonesia yang telah tereduksi ke dalam kepentingan pasar.

Kepentingan bisnis tersebut memungkinkan perempuan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengejar keuntungan besar dalam meraih pangsa pasar, yang sarat dengan persaingan ketat, sebagaimana dalam permainan dadu industri. Perempuan ditampilkan secara tidak bermoral, tidak memiliki nilai etika bersosial. Perempuan divisualisasikan ke dalam bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya; seksi dan berpakaian yang sangat minim.

Oleh karena itu, media massa merupakan sarana pertunjukan yang memiliki panggung yang luas, ekspresi bebas, bahkan sampai pada eksploitasi hal-hal yang negatif. Serbuan menu media massa ini dapat menganggu eksistensi kehidupan manusia, baik eksistensi individu maupun sosial. Dunia media adalah dunia yang tidak lepas dari individu dan kolektif yang ditransformasikan ke dalam konteks realitas hidup sosial yang sebenarnya. Karakter peran individu yang dimainkan dalam panggung media massa memiliki bias terhadap dunia realitas sesungguhnya.

Baca selengkapnya: 7-nurul-perempuan-dalam-media-massa

TANTANGAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI TINGKAT LOKAL

January 15, 2009 at 4:23 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Maria Ulfah Anshor *)

 

Abstract:

Woman leadership normatively has strong legitimating basis, from theological, philosophical, or law’s perspective. However, in reality still face many obstacles, internal or external. Main agenda to struggle is around education, economic, health, and stopping violence to woman. Several strategies for future election are: fist, review to all entire law products that contradict with gender equality principle. Second, is enhancing political education through independent civil society organizations. Third, woman participation in general election must be more critics to vote leader that have perspective and concern to people. Fourth, is preparing leader cadre that ready to fill 30% woman quota in legislative or executive institution on all level.

Keywords: Woman leadership, woman quota, election.

 

A. PENDAHULUAN

Kepemimpinan perempuan secara normatif memiliki legitimasi yang sangat kuat, baik secara teologis, filosofis, maupun hukum. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh negara-negara anggota PBB, termasuk oleh Indonesia, menyebutkan sejumlah pasal yang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih pemimpin maupun menjadi pemimpin. Begitu juga dalam Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang disahkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 7

Tahun 1984 dan dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, telah memberikan jaminan bahwa perempuan terbebas dari tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun. UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah menjamin keterwakilan perempuan baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif (pasal 46). Selain itu, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang mengharuskan seluruh kebijakan dan Program Pembangunan Nasional dirancang dengan perspektif gender.

Namun, dalam tataran realitas masih mengalami banyak tantangan dan hambatan, baik secara internal maupun eksternal. Sekadar contoh, masih segar dalam ingatan kita adalah penetapan kuota 30% bagi perempuan sebagai calon anggota legislatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Ternyata hasilnya pada Pemilu 2004 belum signifikan, masih jauh di bawah target.

Sebagai gambaran, di DPR-RI perempuan hanya mendapatkan 11,27% dari 550 orang, di DPD perempuan mendapat 21% dari 128 orang, dan di DPRD propinsi hanya 9% dari 1.849 orang.2 Padahal ketika itu, kampanye perempuan memilih perempuan diapresiasi oleh banyak kalangan dan pendidikan politik untuk masyarakat boleh dibilang lumayan besar. Fakta tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam politik masih menghadapi tantangan dan hambatan. Pada kasus Pemilu 2004, dari sisi isi (content) hukum, seperti yang kita tahu, masih setengah hati dan tidak ada sanksi, begitu juga dari sisi struktur maupun kulturnya, masih sangat bias gender. Apalagi dengan ditolaknya kuota dalam Undang-undang Partai Politik pada tahun 2002, membuat tidak kondusif penempatan perempuan dalam nomor urut pencalonan pada Pemilu 2004 sehingga sangat merugikan kaum perempuan.

Baca selengkapnya: 6-maria-ulfah-tantangan-kepemimpinan-perempuan

PEREMPUAN DAN PILKADA LANGSUNG

January 15, 2009 at 4:16 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Sofa Marwah dan Waluyo Handoko *)

 

Abstract:

Direct local election (Pilkada Langsung) that initially aimed as medium to motivate woman representation on political domain, however still didn’t reach its goal. Until December 2006, from 296 district, only 61 (20,6 percent) that participated by woman candidate. Several studies explain that there isn’t significant impact of sex with political vote (Austin Ranney, 1999). Woman’s obstacle to participate as candidate in local direct election generally correlated with social, ideological, and psychological problems, also strong patriarchal culture. In addition, UU No. 32 year 2004 still obliged every candidate to apply through political party. Woman often excluded early on party’s internal mechanism because women have minor strategic role. Furthermore, women also being hindered by fund, resources, and network problems.

Keywords: participation, woman, direct local election.

 

A. PENDAHULUAN

Pemerintahan Orde Baru (Orba) telah berperan kuat dalam mensubordinatkan kaum perempuan Indonesia, bahkan menempatkan perempuan sebagai alat untuk pencapaian politik Orba. Perempuan Indonesia diarahkan untuk berperan sebagai ibu dan istri. Kodrat telah menjadi kata kunci yang digunakan pemerintah untuk mengkonstruksi “ideologi gender”, yang mendasarkan diri pada konsep ibuisme. Sebuah konsep yang menempatkan kegiatan perempuan dalam masyarakat, tetap berkaitan dengan peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik adalah sesuatu hal yang tidak layak. Kebijakan Orba terhadap politik gender yang berorientasi pada Women in Development (WID) itu telah mendominasi politik gender Orba sejak pertama diperkenalkan pada era 1970-an. Konsep WID yang menekankan partisipasi perempuan dalam pembangunan, mempunyai kecenderungan untuk mendefinisikan masalah perempuan dalam kerangka kebutuhan dasar keluarga yang mendukung ideologi ibuisme Orba sehingga WID diadopsi pemerintah Orba untuk mendukung politik gender yang dianutnya. Pada prinsipnya, politik gender rezim Orba mendasarkan pandangannya bahwa perempuan Indonesia adalah kelompok homogen yang apolitis dan harus berperan sesuai kodratnya sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam urusan domestik.

Politik gender Orba tersebut, kemudian termanifestasi dalam beberapa dokumen negara, seperti; GBHN, UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dan Panca Dharma Wanita. Terdapat tiga organisasi perempuan yang dibentuk pemerintah untuk mendukung politik gender ini. Pertama, organisasi Dharma Wanita yang menaungi para istri pegawai negeri sipil. Kedua, organisasi Dharma Pertiwi untuk para istri yang suaminya bekerja di militer dan kepolisian. Ketiga adalah PKK, sebagai organisasi yang menaungi perempuan di seluruh pelosok wilayah Indonesia, terutama di pedesaaan.

Baca Selengkapnya: 5-marwah-handoko-perempuan-dan-pilkada

PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM KACAMATA ICT

January 15, 2009 at 4:10 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

Moh. Roqib *)

 

Abstract:

This paper will discuss woman’s politic role, political leadership viewed as difficult task, and woman deemed as incapable. At this point, ICT or multimedia can effectively help woman’s political task. Sophisticated and enhanced information technology and communication can simplify leader task and duty. Through ICT, leader can give commando, dividing task, motivate, and giving punishment quickly and easily. ITC make everything easy, fast, with high quality. Computerization and digitalization positioned woman equal with man, as long as knowledge and technological capability equal too. Physical constraint is not a problem for one that technology-literate. The last question is about quality, only depend on it man and woman have equal chance to success and leading the world.

Keywords: ICT, woman political role, leadership.

 

A. PENDAHULUAN

Kenyataan pada saat ini, bisa jadi merupakan impian pada masa lalu. Orang bisa berbicara dan melihat kawan bicaranya dari jarak ribuan kilometer. Jika hal ini dinalar pada masa Majapahit, perilaku ini adalah mustahil, dan yang melakukannya dianggap “kejinen”, kemasukan jin alias gila. Membuat KTP atau KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) hanya 10 menit; membayar SPP dan melihat nilai untuk mahasiswa tidak perlu ke kampus; bimbingan dan pembelajaran jarak jauh bisa dilakukan; Hal-hal tersebut dulu mustahil untuk dikatakan, meskipun saat ini yang menanyakannya dianggap “orang yang dilahirkan terlambat”, seharusnya sudah lahir pada jaman bahola, jaman Mataram kuno. Saat ini, semua bisa cepat dengan kualitas prima seperti permainan sulap yang hanya dengan “abagedabra”. Uang yang diinginkan segera diproses lewat mesin ATM, dan “jreng” uang pun keluar.

Inilah keajaiban masa lalu dan kenyataan saat ini. Meskipun saat ini masih ada pejabat, pimpinan perusahaan, pimpinan, dan aktivis politik yang berwatak dan berkualitas masa lalu, gagap teknologi sementara dirinya berdampingan dengan multimedia. Multimedia masih asing bagi dirinya dan belum mampu menggunakan atau memanfaatkannya.

Kecanggihan di atas terjadi berkat kemajuan Information and Communication Tecnologi (ICT), sebuah teknik atau cara untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, menggunakan, menganalisa, menyebarkan, dan menyajikan informasi dan komunikasi. Teknik atau cara seperti ini berada pada disiplin ilmu elektronika, komputasi, dan pemograman. Wujud nyata dari teknologi ini adalah komputer beserta peralatan pendukungnya, seperti seperangkat komputer, telepon, internet, piranti perangkat lunak, dan lainnya. Pada perkembangan terakhir, peralatan sistem telekomunikasi yang semula terpisah dari kelompok komputer saat ini telah berkonvergensi membentuk jaringan komunikasi data serta aplikasi multimedia.1 Dalam konteks multimedia ini, ICT ini diperbincangkan.

Baca Selengkapnya: 4-roqib-peran-politik-perempuan

WACANA PEREMPUAN ISLAM DALAM BERPOLITIK

January 15, 2009 at 4:01 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

Nurfuadi *)

 

Abstract:

By Koran, Allah explained that there is nothing different between man and women, all of them have some potency in Allah’s view, except their iman and taqwa, and nothing different man and woman in Islam, included in politics because woman got same potency with man. If we see Koran text, imprinted have tendency to woman’s problem more caused base of our understanding and interpretation that wrong to that text, because boundary (marginalization) to woman’s right from a perception that is perception folk-etymology about woman.

Keywords: Discourse, moslemah, politics.

 

A. PENDAHULUAN

Salah satu tema utama dan prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara laki-laki maupun perempuan dan antara bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi, dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah. Banyak ayat al-Qur’an telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual (Q.S. at-Taubah [9]:112 dan QS. at-Tahrim [66]: 5).

Al-Qur’an menyajikan topik perempuan dalam banyak ayat dan berbagai surat. Namun, yang paling banyak adalah dalam surat an-Nisa’ sehingga sering dinamakan an-nisa’ al-kubra. Penanaman ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan surat lain yang juga menyajikan sebagian masalah perempuan, yaitu surat ath-Thalaq, yang sering dinamakan an-nisa’ ash-shughra.

Meskipun al-Qur’an adalah kitab suci yang kebenarannya abadi, namun penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai suatu yang relatif. Perkembangan historis berbagai madzhab kalam, fiqih, dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi dominan. Pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol. Itulah sebabnya persepsi tentang perempuan di kalangan umat Islam, khususnya dalam diri mufasir selalu berubah-ubah dari jaman ke jaman.

Baca selengkapnya:  3-nurfuadi-wacana-perempuan-islam2

KEPEMIMPINAN POLITIK PEREMPUAN DALAM LITERATUR ISLAM KLASIK

January 15, 2009 at 3:51 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , ,

 

Ridwan *)

 

Abstract:

Discussion about the status of woman’s political leadership has produce pros and contra among ulama. There’s a lot of argument from each group from theological, sociological, or historical perspective. Women’s self image in classical tafsir literature still have discriminative attitude to woman, positioned as inferior creature and weak intellectuality. This bias interpretation brought up stigma that woman is not proper to bear certain task, especially role on public domain as in political field. Therefore, in order to enhance insight to interpretation that have character gender responsive and humanistic, we shouldn’t only interpret with literal and legalistic aspect, but must be broaden to contextual-emansipatory. Finally, result of interpretation didn’t escape from Islamic vision and mission as rahmatan lil alamin’s religion.

Keywords: woman, political leadership, interpretation, tafsir.

 

A. PENDAHULUAN

Salah satu isu klasik yang selalu aktual dan sering menjadi perdebatan akademik dalam studi keislaman adalah diskursus kepemimpinan perempuan di dunia publik, khususnya kepemimpinan di bidang politik. Perdebatan seputar wacana tersebut melahirkan pro dan kontra dengan sederet argumentasi yang diajukan oleh masing-masing kelompok untuk mendukung pendiriannya, baik dari sudut teologis, sosiologis, maupun historis.

Sebagai agama yang berdasarkan pada sumber-sumber tekstual (al-Qur’an dan Hadis), maka doktrin agama Islam yang ada dalam teks dipahami dan tafsirkan oleh manusia yang sudah barang tentu hasil penafsirannya antara satu penafsir dengan penafsir lain berbeda-beda. Penafsir dalam membuat penafsiran terhadap teks-teks agama sangat dipengaruhi oleh subjektivitas pribadi dan kapasitas keilmuan, serta sistem budaya dan politik yang mengitari kehidupan penafsir.

Salah satu implikasi teologis terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis mengenai perempuan adalah munculnya perasaan takut dan berdosa bagi kaum perempuan bila “menggugat” atau menolak penafsiran yang mensubordinasikan posisi mereka di hadapan laki-laki, baik dari sisi martabatnya maupun hak-haknya. Realitas teks dan sosiologis menempatkan perempuan, baik pada dunia teks maupun praksis pada posisi diskriminatif, terutama pada hal-hal; pertama, ada setereotipe bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah karena ia diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Kedua, kualitas kedirian perempuan adalah separoh dari laki-laki. Ketiga, perempuan tidak layak menjadi pemimpin negara karena dinilai tidak cakap mengurusi masalah-masalah sosial yang berat dan pelik.1

 

 

Baca Selengkapnya: 2-ridwan-kepemimpinan-politik-perempuan

CITRA PEREMPUAN DALAM POLITIK

January 15, 2009 at 3:42 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 1|2008| | Leave a comment
Tags: , ,

 

Tri Marhaeni Pudji Astuti *)

 

Abstract:

Woman image in politic cant separated from woman social construct in social relation. This image in people’s mind is stereotype and gender concept about woman in all sector, include in political and government sector, that woman “incapable” to lead, because woman is irrational and rely on her emotion. Actually, there’s woman’s chance to enter political domain, but it’s very rare. Woman justified as improper to politic because woman is kitchen/domestic “inhabitant”, irrational and nervous to take a risk. There’s several factor that influence emergence woman’s leader, namely patriarchy culture, family relation, martyrdom, social class, lifestyle, social context, prison experience, and election system. Therefore, it’s necessitating more woman candidate in political domain, objective recruitment process, and initialized with quota’s system to create critical numbers of woman politicians.

Keywords: Woman image, politic, stereotype, quota’s system.

 

A. PENDAHULUAN

Berbicara tentang perempuan dan politik, tidak lepas dari image dan konstruksi sosial perempuan dalam relasi masyarakat. Image yang selama ini diteguhkan dalam benak masyarakat adalah konsepkonsep stereotipe tentang perempuan di berbagai sektor, termasuk dalam sektor politik dan pemerintahan. Image yang kebanyakan merupakan stereotipe tentang perempuan, akhirnya “ditarik” ke dunia publik —termasuk di dunia politik— bahwa perempuan “tidak layak” mempimpin karena perempuan tidak rasional dan lebih mengandalkan emosinya. Pandangan yang bersumber dari stereotipe dan keyakinan gender inilah yang akhirnya banyak menimbulkan ketimpangan gender di berbagai sektor.

Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai faktor itu jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur/domestik, tidak bisa berpikir rasional dan, kurang berani mengambil risiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotipe perempuan. Akibatnya, baik perempuan atau laki-laki dan masyarakat secara umum, sudah menarik kutub yang berbeda bahwa dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan. Hal ini juga berkaitan dengan sosialisasi peran gender.

 

Baca selengkapnya: 1-tri-marhaeni-citra-perempuan

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.