PENDIDIKAN HUKUM PEREMPUAN SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

January 15, 2009 at 5:34 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

 

Endang Widuri *)

 

Abstract:

One kind of education that has strategic value to empowerment effort is through law education. The method is giving knowledge with information; education; training and motivation. formal law formal education can form and also placing woman on “link and match” concept, in the meaning that human resources determine its existence, as embodiment of Section 27 article (2) UUD 1945. Through this concept, we hope women can participate as formulator of law rule and development, so we can reform women image that have been formed by social and cultural structure of society. Therefore, they will obtain fairer portion based on humanity value, as noted on Human Rights Contract.

Keywords: Law education, woman empowerment.

 

A. PENDAHULUAN

Perubahan dan kontinuitas dalam pembangunan bergerak dengan cepat dan transparan. Perubahan tersebut membuat kita cukup sulit untuk memprediksikan permasalahan yang akan muncul, sekaligus mengantisipasinya dalam masyarakat. Perubahan dan kontinuitas dalam pembangunan masyarakat tersebut akan mempengaruhi sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini langsung atau tidak langsung menuntut adanya perbaikan atas pemahaman dan penerapan sistem nilai, dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Salah satu aspek yang berpengaruh dalam perubahan tersebut adalah mengenai peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dapat dipahami alasan tuntutan perbaikan dalam pemahaman dan penerapan sistem nilai, struktur sosial dan budaya masyarakat yang berlangsung dengan perempuan, sebagai akibat terjadinya interpretasi yang salah terhadap kedudukan perempuan dalam struktur sosial dan budaya masyarakat selama ini. Pada sistem nilai dalam struktur sosial dan budaya masyarakat sebelum adanya perubahan, sebagai akibat interpretasi yang salah, telah menimbulkan ketimpangan kedudukan peran antara laki-laki dan perempuan, di mana kedudukan perempuan cenderung ditempatkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki dalam memperoleh hak dan kesempatan sebagai sesama anggota masyarakat.

Sejalan dengan perubahan dan kontinuitas dalam pembangunan masyarakat tersebut di atas, maka sensitifitas akan keadilan semakin meningkat. Permasalahan yang dihadapi kaum perempuan di dalam masyarakat dapat dirasakan. Hampir semua lini sektor kehidupan masyarakat dikuasai oleh kaum lakilaki. Perumusan kebijakan maupun pelaksanaan pembangunan nyaris didominasi dengan jalan pikiran kaum laki-laki, sehingga menimbulkan adanya isu diskriminasi jender.

Baca selengkapnya: 12-endang-widuri-pendidikan-hukum-perempuan

CITRA IBU PADA PUISI: DALAM PENGEMBARAAN PENYAIR INDONESIA

January 15, 2009 at 5:31 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Abdul Aziz Rasjid *)

 

Abstract:

This article directed to study mother imagination through poem that produced by Indonesian poets on their wandering to “culture migration” cities. The cause is the rise of nationalism and modernism ideas that established new belief that human as “center of creativity”. Mother image is son perspective to his mother and this perspective poet is that write mother on his poem. Poem about mother taken from 1930 to 1998 that used as interpretation object to reveal poet’s sub-consciousness realm to obtain knowledge about son image to his mother on Indonesian poem history and this nation history (colonialism, independence, economic-politic turbulence, till reformation).Through poem, researcher also analyze if there is a gender bias on this mother image.

Keywords: mother, poem, poet.

 

A. PENDAHULUAN

Bachofen dalam penemuannya atas hak ibu (mother right) dan analisisnya terhadap mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani, dan Mesir, berkesimpulan bahwa struktur patriarkhal dalam masyarakat yang kita kenal melalui sejarah peradaban dunia didahului sebelumnya oleh status kultural yang menempatkan sosok ibu dalam peran yang sangat penting, misalnya; kepala keluarga, kepala pemerintahan, dan Dewi Agung. Lebih jauh lagi, sebelum struktur matriarkhal berbentuk, kehidupan sepenuhnya bersandar pada produktivitas alamiah perempuan yang bernama Ibu.1

Para ahli paleoantropologi juga berpendapat bahwa pemujaan pertama homo sapiens tertuju pada perempuan. Oleh karenanya, dalam banyak kebudayaan, bulan, bumi, rumah, mata air, dan sebagainya diberi jenis kewanitaan. Dari hal inilah kemudian kita mengenal sebutan bunda bumi (terra mater), ibu pertiwi, dan bunda tersayang (alma mater). Sebutan-sebutan itu menyimbolkan bahwa ibu begitu diagungkan oleh manusia.

Pada era global sekarang ini, di mana konstruksi sosial berbentuk patriarkhi, posisi ibu yang perempuan tentu tidak bisa lepas dari konsekuensi sosial akibat mapannya struktur patriarkal, yaitu perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan (gender inequalites). Tulisan ini ingin mengkaji apakah pencitraan ibu yang dahulu diagungkan sebelum budaya patriarkhi terbentuk tetap bertahan atau mengalami perubahan?

Pencitraan ini diambil dari sudut pandang anak terhadap ibunya, yaitu penyair yang menuliskan ibu dalam puisinya. Puisi tentang ibu digunakan penulis sebagai alat interpretasi untuk mengungkap alam bawah sadar sebagai gambaran pencitraan anak terhadap ibu dalam perkembangan sejarah perpuisian Indonesia. Tulisan ini juga akan menganalisis apakah pencitraan itu bersifat bias gender?

Baca selengkapnya: 11-abdul-aziz-rasjid-citra-perempuan-dalam-puisi

TUBUH DAN PENUBUHAN DALAM CERPEN SRI SUMARAH KARYA UMAR KAYAM: TELAAH PASCAKOLONIAL DAN FEMINISME

January 15, 2009 at 5:28 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Trisna Gumilar *)

 

Abstract:

Writing a text with feminist perspective isn’t talk about moral (that intentionally build with social discourse that have patriarchal perspective), but more based on women speaking opportunity, giving space to woman to express her desire, her need, and her right with the result she able to became subject on her life. Sri, figure on Sri Sumarah short story by erpen Sri Sumarah Umar Kayam, Karya Umar Kayamhappy with her role as kanca wingking (backside partner), at the end cant continue her role as second sex. She have to negotiate and adapt with new environment, new condition, and new society, even her old culture still have strong grasp. Sri cannot anymore submit to society’s eyes. She negotiates with herself and with her body.

Keywords: Sri Sumarah, Umar Kayam, feminist perspective.

 

A. PEMBUKA

Salah satu isu penting dalam kajian post-kolonial adalah masalah gender. Dalam pengantarnya, Ascorft, dkk.1 menyatakan bahwa postcolonial theory meliputi diskusi-diskusi tentang masalah-masalah yang beragam; migrasi, perbudakan, penindasan, perlawanan, representasi, pembedaan gender, tempat, dsb.

Salah satu isu penting dalam gender adalah tubuh. Tubuh diyakini sebagai satu-satunya indikator yang paling alamiah dari eksistensi manusia sebagai seorang pribadi.2 Tubuh menurut Batterrsby sebagai sesuatu yang lebih dari wadah “diri” adalah “diri” yang bertubuh, sedemikian sehingga wacana mengenai tubuh bukanlah semata-mata melihat tubuh dalam kapasitas ragawi, tetapi bagaimana “kenyataan” fisik itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan “diri”.3

Tubuh Sri dalam Sri Sumarah karya Umar Kayam adalah tubuh yang berjuang dalam rangka mencari identitas di tengah kecamuk subjektivitas dan seksualitas yang terkonstruksi. Dengan perspektif feminisme dan post-kolonial, tulisan ini berusaha menunjukkan bahwa konstruksi seksual patriakal telah mereduksi subjektivitas dan seksual perempuan pada kondisi stereotip.

Baca selengkapnya: 10-trisna-gumilar-tubuh-dan-penubuhan-dalam-cerpen-sri-sumarah-karya-umar-kayam

ASMARADANA: DI AMBANG LIMINAL

January 15, 2009 at 5:25 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

 

Sunahrowi *)

 

Abstract:

Asmaradana short story has one face, but exists on two worlds. In one side, it show postmodern world and on the other side show its feminism thread. This short story justified being had one face because between postmodernism and feminism offer critic that deep and extensive reach to philosophy and its correlation with broaden culture. Both try to develop new paradigm of social critic, which not based on traditional philosophical basis. This short story exists on two worlds because postmodernism community offers complex and complicated critics to foundationalism and essentialism. However, their social critic’s conception tends to have weak power. The existence of Asmaradana short story between postmodernism and feminism theme making this short story have liminal character.

Keywords: Asmaradana, postmodernism, feminism, liminal.

 

A. PENDAHULUAN

Perkembangan sastra tidak bisa dilepaskan dari perkembangan bidang lain, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Sastra selalu mencerminkan faktor-faktor di luarnya. Geliat kehidupan masyarakat Indonesia juga tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di negara Barat. Kecenderungan ini dapat dilihat dari masuknya budaya posmo ke dalam lingkup kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sastra sebagai produk budaya juga mengalami perubahan yang sama, yaitu pada tingkatan wacana beralih dari wacana modernisme ke wacana posmodernisme. 

Mulai abad ke-20 hingga sekarang ini, istilah posmodernisme sering kita dengar dan sering dipakai orang. Posmodernisme merupakan sebuah periode pascamodern yang dicetuskan oleh para filsuf Eropa, seperti Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Faucoult, Jean François Lyotard, Roland Barthes, dan lain-lain. Kata post- menandakan adanya periode setelah modernisme atau strukturalisme dari suatu sistem yang mengubah segala aspek seperti politik, ekonomi, budaya, dan filsafat sebagaimana yang terjadi dalam pergeseran pemerintahan kolonial Belanda menuju Orde Lama, Orde Lama menuju Orde Baru.1

Posmodernisme sebenarnya sudah dipakai sejak lama dalam bidang kesenian dan artistik, terutama di Amerika Serikat. Wacana posmodernisme dan praktiknya seringkali dicirikan sebagai intervensi antimodern yang secara eksplisit menghancurkan ideologi modern, gaya dan praktik yang banyak dilihat posmodernitas sebagai hal-hal opresif atau kejemuan. Prefiks post menandakan keterputusan (coupure) dengan yang mendahuluinya. Keterputusan ini dapat diinterpretasikan secara positif sebagai pembebasan dari penguasa lama dan kondisi opresif.

Baca selengkapnya: 09-sunahrowi-asmaradana-diambang-liminal

EKSPRESI BAHASA DAN GENDER: SEBUAH KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

January 15, 2009 at 5:15 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Munjin *)

 

Abstract:

It is difficult to say that the diversity in using a language by men and women is just caused by their sexual difference. The fact show that the factor of social and culture plays more important role and determines how men and women should speak. There are, at least, three factors that influence in transforming the difference of language expression, that is, the domination or power, the different way of treating men or women, and socialization. Because of these factors, we find out some expressions, in English language, which represent gender inequalities; e.g., asymmetric marked and unmarked term, and semantical derogation.

Keywords: Language expression, gender, and social-culture.

 

A. PENDAHULUAN

Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat untuk mengekspresikan gagasan yang telah menjadi konsesus bersama. Ekspresi bahasa tersebut menggambarkan kecendrungan masyarakat penuturnya. Oleh karenanya, untuk mempelajari dan menjelaskan bahasa niscaya harus melibatkan aspek-aspek sosial yang mencitrakan masyarakat tersebut,1) seperti tatanan sosial, strata sosial, umur, lingkungan dan lain-lain. Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Chomsky bahwa bahasa adalah asosial karena mengabaikan heterogenitas yang ada dalam masyarakat, baik status sosial, pendidikan, umur, jenis kelamin latar belakang budayanya, dan lain-lain.2) Chomsky memilah antara bahasa di satu sisi dan budaya di sisi lain.

Dalam mempelajari bahasa yang berhubungan dengan sosial budaya akan menghasilkan empat kemungkinan. Pertama, struktur sosial dapat mempengaruhi dan menentukan struktur atau perilaku bahasa. Kedua, struktur dan perilaku bahasa dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial. Ketiga, hubungan keduanya adalah timbal balik. Keempat, struktur sosial dan struktur bahasa sama sekali tidak berhubungan,3) inilah yang dianut oleh Chomsky.

Bila kita mengambil kemungkinan pertama, maka bahasa adalah hasil konsensus masyarakat. Konsesus itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh dominasi penguasa yang ada karena merekalah yang punya kekuatan untuk mengeluarkan kebijakan. Dalam bahasa Indonesia, memang ada satuan-satuan lingual, yang secara seksis biologis untuk membedakan gender, seperti fonem /a/ untuk gender maskulin dan fonem /i/ untuk gender feminin.4).

Baca selengkapnya: 08-munjin-ekspresi-bahasa-dan-gender

DILEMA KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

January 15, 2009 at 5:12 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , ,

 

Ida Novianti *)

 

Abstract:

Until now, there is a dilemma about woman leadership in Islam. In one side, there is a belief that the best woman activity is being home, take care her husband and children, cooking, cleaning up, and other activity that have domestic character. At the other side, today’s woman demanded to play active role outside home. Patriarchal understanding and culture that dominant at that era still affect position about woman leadership in Islamic thought discourse, not surprising if their thought’s product inclined to man interest. However, today’s woman have broad opportunity to have role on every domain, include became a leader. This is perfectly appropriate with Islamic teaching because al-Qur’an did not differentiate human except his/her deed.

Keywords: woman leadership, domestic role, patriarchal understanding and culture.

 

A. PENDAHULUAN

Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan.1 Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan -kesempatan untuk berkarya.

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah perempuan merupakan bagian integral dari masyarakat. Secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia sama. Jadi, keberadaan perempuan bukan sekadar pelengkap bagi laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti rumahtangga maupun publik.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan pernyataan di atas, di mana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Filosofi Jawa bahkan menyebutkan perempuan sebagai ‘konco wingking’ yang tugasnya hanya seputar tiga m, yaitu macak, masak, dan manak. Anggapan tersebut diperkuat dengan adanya ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi tentang perempuan yang dipahami dan ditafsirkan secara bias dari satu sisi kepentingan.

Baca selengkapnya: 07-ida-novianti-dilema-kepemimpinan-perempuan-dalam-islam

MADRASAH BANAT: POTRET PENDIDIKAN ANAK PEREMPUAN NU MASA KOLONIAL BELANDA

January 15, 2009 at 5:08 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , , ,

 

Kholid Mawardi *)

 

Abstract:

In Nahdlatul Ulama at Netherlands colonial era, we cannot find man and woman discrimination on education sector. It is evidenced with the existence of madrasah (school) special for NU’s girl that known as Madrasah Banat. This madrasah established to form loftiest quality woman (al-mar’atu as-shalihah) that ready to serve for next generation progress.

Keywords: Nahdlatul Ulama, education, madrasah banat.

 

A. PENDAHULUAN

Memperbincangkan pendidikan bagi kaum pribumi di Indonesia masa kolonial Belanda secara umum telah tergambar dengan jelas. Pendidikan bagi kaum pribumi merupakan pendidikan kelas dua, penyelenggaraannya pun di batasi dengan regulasi-regulasi yang sangat ketat agar dalam perjalanannya tidak mengobarkan semangat nasionalisme dan sentimen anti-Belanda.

Ruang gerak pendidikan yang diselenggarakan oleh orang-orang bumi putra sangat terbatas, baik yang berideologi nasionalis maupun Islam. Mereka berusaha untuk meningkatkan martabat bangsa melalui pendidikan. Pendidikan diyakini dapat memberikan pencerahan untuk melakukan penyadaran terhadap rakyat di tanah jajahan atas hak-hak mereka. Pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum nasionalis lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum, sedangkan pendidikan yang berideologi Islam lebih mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam. Pada masa itu dikotomi antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama sangat kental bahkan tegas.

Di sisi lain, secara sosiologis masyarakat Indonesia pada masa itu berideologi patriarkhi, yang mengagungkan peran laki-laki dibandingkan perempuan. Dengan demikian, gerakan pendidikan yang dirintis juga bersifat patriarkhi, hal ini semakin mantap dengan dukungan kultural masyarakat yang menempatkan perempuan hanya pantas berada dan berkiprah dalam wilayah domestik. Masyarakat menganggap bahwa anak laki-lakilah yang harus bersekolah karena dia adalah calon tulang punggung keluarga, sedangkan anak perempuan yang hanya akan berperan di wilayah domestik cukuplah belajar tentang kehidupan kepada ibu-ibu mereka tidak perlu sekolah.

Namun, di awal abad ke-20, dengan munculnya gerakan-gerakan nasionalisme dan revivalisasi Islam, sedikit banyak telah berpengaruh terhadap model-model pendidikan di Indonesia. Beberapa organisasi masyarakat yang berideologi Islam sudah mulai menafikan dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, bahkan ada beberapa organisasi melakukan adopsi terhadap model pendidikan Barat dengan menambahkan ilmu-ilmu agama. Organisasi masyarakat yang berideologi nasionalis telah mengendurkan sifat patriarkhinya sehingga mulai memompa semangat anak-anak perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah pribumi.

Baca selengkapnya: 06-kholid-mawardi-potret-pendidikan-anak-perempuan

REPOSISI PEREMPUAN DALAM KEPEMIMPINAN

January 15, 2009 at 5:05 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

 

Farichatul Maftuchah *)

 

Abstract:

Al-Qur’an mission actually is build human life that have noble moral and honoring universal humanity values. These values realized by effort to maintain justice, freedom, equality, and respect to human rights. On relation between woman and man, they have equal rights, as individual or member of society. all above values have to become fundamental when we studying Qur’anic verse that speak about other more specific matters. Correlating with women and men relation, when there’s Qur’anic interpretation that in contradiction with justice and human rights principle, that interpretation must be reevaluated. Qur’anic verse and Muhammad’s hadis that discussing woman involvement on political leadership used as guidance to realize those above values on historical context.

Keywords: Reposition, leadership.

 

A. PENDAHULUAN

Dalam wacana perpolitikan, isu perempuan yang dikaitkan dengan doktrin-doktrin agama menjadi salah satu yang sering diangkat ke permukaan. Sebagai salah satu contoh ketika Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia di hadapan sidang umum MPR pada tahun 2000, ternyata respon yang muncul tidak monolitik, sebagian menganggap sah-sah saja Megawati (baca perempuan) menjadi pemimpin politik, sebagian menolak dengan argumen teologis bahwa yang boleh menjadi pemimpin publik adalah kaum laki-laki karena al-Qur’an hanya mengesahkan laki-laki saja, tetapi benarkah al-Qur’an memandang seperti itu?

Dalam pandangan masyarakat yang patriakhi, pandangan mensubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki dipengaruhi oleh doktrin keagamaan, tetapi kalau kita melihat doktrin Islam sendiri, ternyata ide egalitarianisme sangat dijunjung tinggi. Pada dasarnya al-Qur’an memberikan justifikasi yang sangat jelas tentang kesejajaran perempuan dengan laki-laki, tetapi dalam tataran realitas ternyata ide-ide egalitarian dalam al-Qur’an sering berbenturan dengan respon masyarakat yang cenderung bias.

Sampai kini permasalahan yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan masih dalam perdebatan yang tiada henti, masing-masing berpegang teguh pada argumennya sendiri-sendiri. Tulisan ini mencoba mengulasnya, pertanyaan yang dilontarkan di sini adalah apakah memang Islam melarang perempuan menjadi pemimpin? Permasalahan selanjutnya yang perlu diperjelas adalah bagaimana seharusnya memahami kepemimpinan perempuan dalam Islam?

Baca selengkapnya: 05-farichatul-posisi-perempuan-dalam-kepemimpinan

QUO VADIS POLITIK PEREMPUAN?

January 15, 2009 at 5:02 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

 

Sumiarti *)

 

Abstract:

To what direction Indonesian women politic will be? Is it aim correctly to give opportunity to women to participate in state’s social-politic process, or only as politicizing effort to women? Is state policy to women could affect society mindset in viewing and positioning women in order to equal with man? Woman politic in Indonesia absolutely must have purpose to empower woman and on broader scale to improve social order to became more gender justice. Woman involvement in public area, should not only fulfill formal requisite to obligation to involve woman, but really based on consideration about important role played by woman on public domain. Therefore, it will not emerge effort and activity that only politicizing woman.

Keywords: women politic, empowerment, women role.

 

A. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia senantiasa membutuhkan sinergi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dibedakan dengan berbagai peran dan fungsinya masing-masing, namun sesungguhnya bersifat komplementer. Laki-laki dan perempuan dikonstruksi memiliki peran dan fungsi, yang kemudian dikenal sebagai peran-peran gender (gender roles). Peran-peran gender ini diwariskan dari generasi ke generasi sehingga dianggap sebagai pembagian yang given dari Tuhan, atau kadang disebut sebagai kodrat Tuhan. Laki-laki diberi peran sebagai pencari nafkah, pemimpin dalam rumah tangga atau masyarakat, sedangkan perempuan melaksanakan tugas-tugas reproduktif dan kerumahtanggaan; mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak, dan lain-lain (atau biasa disebut tugas-tugas sumur, dapur, dan kasur). Jadi, laki-laki ditempatkan dalam peran-peran di wilayah publik (public sphere), sedangkan perempuan diberi peran dalam wilayah domestik (domestic sphere). Peran-peran tersebut bahkan dianggap sebagai “kodrat laki-laki dan perempuan”. Laki-laki dan perempuan yang dianggap baik oleh masyarakat adalah mereka yang melaksanakan tugas-tugas kodrati, sebagaimana yang sudah digariskan dalam budaya masyarakat.

Baca selengkapnya: 04-sumiarti-quo-vadis-politik-perempuan

POLITISASI RELASI SUAMI-ISTRI: TELAAH KHI PERSPEKTIF GENDER

January 15, 2009 at 4:59 am | Posted in |Vol. 3|Edisi 2|2008| | Leave a comment
Tags: , , , ,

 

Durotun Nafisah *)

 

Abstract:

As a positive law, KHI is a political product and full of state nuance. The initiation process through its justification all involved dominant state role. gender bias in KHI exist on Article 79 paragraph 1 about men-wife position, Article 80 paragraph 1- 3 about man’s obligatory, Article 83 paragraph 1 and 2 about wife’s obligatory, also Article 84 paragraph 1 and 2 about nusyuz. Gender inequalities furthermore cause gender injustice that consists of marginalization, stereotype, subordination, double burden, and violence. Gender bias in KHI caused by: first, social-cultural and educational background of every party involved at its formulation. They tend to very patriarchic and phalli-centric. Second, its formulation method only compiled fikih books, appeal study to Middle East, and seminar, without ushul-fikih framework or non-Islamic studies approach.

Keywords: men-wife relation, state, politic, gender injustice.

 

A. PENDAHULUAN

Di dalam tata hukum di Indonesia, kedudukan dan peran suami-istri dalam keluarga diatur melalui hukum tertulisnya, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Instruksi Presiden RI Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Pola relasi suami-istri, baik di dalam UUP maupun KHI mengikuti pola yang hierarkis dan tidak setara. Suami adalah kepala keluarga dengan kewajiban memberi nafkah kepada istrinya, melindungi, mendidik, dan semacamnya. Sementara itu, istri adalah ibu rumah tangga dengan kewajiban menyelengarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, serta yang utama adalah berbakti lahir dan batin kepada suaminya.1

Pembagian peran antara suami-istri tersebut sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan apalagi digugat sepanjang tidak menimbulkan permasalahan. Namun, ditengarai pembagian peran, hak, dan kewajiban suami-istri secara rigid tersebut, sarat dengan bias gender yang menimbulkan ketidakadilan gender sehingga perlu didiskusikan ulang.2

Ironisnya, justru pembagian peran yang sangat bias gender itu dibakukan oleh pemerintah Indonesia melalui hukum tertulisnya, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Instruksi Presiden RI Tahun 1991 tenentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).3 Dengan demikian, negara Indonesia sebagai institusi yang memiliki daya paksa terhadap rakyatnya turun melakukan ketidakadilan gender. Menurut Mansour Fakih, sumber ketidakadilan gender ada tiga macam, yaitu culture of the law, kultur masyarakat dalam mentaati materi hukum dan tafsiran agama, serta struktur hukum.4

Baca selengkapnya: 03-durotun-nafisah-politisasi-relasi-suami-istri

Next Page »

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.